Segala bentuk aktivitas pemasaran lebih sering terkesan bombastis dan hiperbola. Memang tidak bisa disalahkan juga karena sekarang persaingan dunia bisnis semakin ketat. Namun meskibagaimanapun, pasar yang tetap akan menilai mana aktivitas dari pemasaran yang terbaik dan mana yang dirasa buruk. Konsumen masih tetap menghargai pemasaran, promosi, dan aktivitas beriklan yang beretika.
Etika pemasaran memang masih terkesan abstrak di Indonesia. Tanpa harus menyinggung merek pesaing, kita sering menemukan adanya aktivitas pemasaran yang masih menyudutkan pihak lain, memonopoli pihak tertentu, merugikan pihak lain, dan bahkan seringkali melanggar norma atau hukum.
Tidak mudah untuk mendefinisikan praktek pemasaran yang etis atau tidak etis (marketing ethics). Pada akhirnya, para marketer harus bersandar pada sistem nilai masyarakat untuk menentukan apa itu etika. Sistem nilai tersebut harus mengakui hak konsumen terhadap keamanan, informasi yang komplit, dan value yang sesuai dengan harga yang telah mereka bayarkan.
Salah satu dasar dalam melakukan pemasaran yang beretika bisa merujuk kepada kode etik yang dibuat oleh American Marketing Association (AMA). Yang berbunyi sebagai berikut: “Pemasar harus menegakkan dan mengedepankan integritas, kehormatan, dan martabat profesi marketing dengan cara yang jujur dalam melayani konsumen, klien, pegawai, pemasok, distributor, dan juga masyarakat.“
AMA sendiri juga berkomitmen untuk tetap terus mempromosikan standar tertinggi untuk norma-norma dan nilai-nilai yang bisa menjadi rujukan bagi para anggotanya (misalnya para praktisi, akademisi, dan pengamat). Segala aturan dan standar tersebut diharapkan bisa mempertahankan praktek pemasaran yang tetap beretika dalam masyarakat mana pun. Tentunya hal ini harus didukung oleh semua perusahaan dan institusi yang terlibat dalam aktivitas pemasaran tersebut.
Dalam hal ini para pemasar dituntut untuk bisa mempertanggungjawabkan segala aktivitas pemasaran, berpromosi, dan beriklan yang dilakukan terhadap stakeholder-nya (misalnya karyawan, investor, mitra, regulator, konsumen, serta komunitas).
Sebenarnya faktor etika yang terdapat didalam AMA itu sederhana saja. Norma-norma etika sebagai pemasar adalah kita sebagai marketer tidak boleh melakukan praktek yang merugikan pihak lain. Dan ini berarti komitmen untuk secara konsisten menghindari segala bentuk tindakan yang merugikan baik secara moril maupun materiil.
Selain itu para pemasar juga harus bisa menanamkan faktor kepercayaan dalam sistem pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan. Hal ini berarti harus berusaha secara jujur dan membuat perjanjian yang seadil-adilnya dengan semua pihak, agar dapat memberikan kontribusi yang bebas dari adanya faktor penipuan dalam hal desain produk, strategi pricing, komunikasi, dan juga distribusi.
Perusahaan masih bisa untuk tetap mempertahankan nilai-nilai yang menjunjung tinggi adanya etika dalam proses pemasaran agar bisa mendapatkan kepercayaan dari pihak pelanggan karena perusahaan akan selalu mempertahankan integritas dalam hal berpromosi dan untuk beriklan yang baik dalam hal kejujuran, tanggungjawab, keadilan, usaha saling menghargai, dan lebih bersifat transparan (tidak ada informasi yang sifatnya merugikan pihak lain yang masih disembunyikan).
Sebenarnya cara yang paling sederhana untuk menguji etika dari suatu strategi pemasaran adalah dengan jalan menerapkan konsep “jika ragu, jangan lakukan” (when it doubt, don’t do it). Bisa juga dengan menetapkan Golden Rule: “Perlakukanlah konsumen seperti layaknya Anda memperlakukan diri Anda sendiri”.
Praktik pemasaran yang dengan memperhatikan etika ini bisa sangat membantu bagi para pemasar agar bisa menjadi lebih bertanggungjawab secara sosial. Dengan demikian, para marketer akan bisa merasa bangga dengan bidang yang mereka lakukan. Memang, sebenarnya masih sangat banyak pihak yang meragukan apakah perusahaan yang tetap mengindahkan etika dan memiliki tanggungjawab, bisa tetap menjadi perusahaan yang lebih profitable? Jawabannya bisa ya, atau bisa juga tidak. Namun kecenderungan untuk saat ini perusahaan yang peduli dengan etika akan terhindar dari segala macam bentuk kejadian yang merugikan perusahaan itu sendiri. Sekaligus dengan tetap terus meningkatnya perhatian publik terhadap etika, bukannya tidak mungkin nantinya konsumen akan lebih memilih perusahaan yang mempunyai etika daripada yang tidak beretika.
Lagipula, perusahaan yang sudah mengabaikan etika sebenarnya akan tetap menanggung resiko yang tidak kecil. Lihat saja dari beberapa kasus yang seringkali terjadi belakangan ini tanpa menyebut merek, yang mana sering muncul suatu protes keras dari masyarakat, biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaanpun bisa menjadi sangat besar.
Kerugian dari bentuk promosi yang tidak etis, misalnya, bukan hanya resiko untuk menarik iklan yang sudah dibuat dengan biaya yang sangat tinggia. Namun juga tuntutan untuk permohonan maaf terhadap publik, terkadang perusahaan juga harus tetap mengeluarkan biaya ganti rugi yang jumlahnya bisa ratusan juta, bahkan mungkin bisa mencapai miliaran rupiah. Belum lagi kerugian berupa citra perusahaan yang sudah tercoreng sangat buruk di mata masyarakat umum.
Groedu Inti Global Inovasi (Groedu Trainer Pelatihan Pemasaran Bisnis)
Cito Mall – Jl. A. Yani 288 (Bunderan Waru), Lantai UG, US 23, No. 3 & 5 Surabaya.
Hp : Frans : 0818521172
Office (only call no sms) : 081-59417699
Fast Respon Email : groedu_inti@hotmail.com